Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Ongkos Politik Indonesia paling Boros di Dunia



Sebuah ironi, ketika jutaan warga hidup di bawah garis kemiskinan, sebuah pesta demokrasi justru digelar dengan menghamburkan triliunan rupiah.



Coba tengok, KPUD Jatim menganggarkan biaya perhelatan tersebut tidak kurang dari Rp 500 miliar. Sementara itu, tim pemenangan "Karsa" (pasangan Soekarwo dan Saifullah Yusuf), melalui sebuah media mengakui biaya politik yang sudah dibelanjakan bisa lebih dari Rp 1,3 triliun. Bisa-bisa total dana yang dibelanjakan lima pasangan calon plus KPUD Jatim mencapai Rp 5 triliun.

Sebuah jumlah yang fantastis bila dibandingkan dengan dana kampanye Barack Obama, yang hingga Juni 2008 sekitar Rp 2,5 triliun, Hilarry Clinton sekitar Rp 1,8 triliun, dan John Mc Cain sekitar Rp 932 miliar.

Jumlah yang dibelanjakan dalam pilgub Jatim juga jauh melebihi dana kampanye pasangan capres/cawapres pada Pilpres 2004.
Saat itu, pasangan Wiranto-Salahudin Wahid melaporkan pengeluarannya Rp 86 miliar, Megawati Soekanoputri-Hasyim Muzadi Rp 84 miliar, SBY/JK Rp 74 miliar, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo Rp 16 miliar, serta pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar Rp 16 miliar,Banyak pihak menilai, fenomena demokrasi yang berkembang di Indonesia sudah kebablasan. Demokrasi yang berkembang sudah jauh dari cita-cita reformasi.

Ada juga yang menilai, demokrasi yang berkembang mentok pada demokrasi prosedural. Muncul pula penilaian, demokrasi yang berkembang hanya dikuasai kelompok elite bermodal besar. Jangan-jangan, karena itu pula enam anggota DPR ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka saling berlomba mengumpulkan dana, entah dengan cara apa.

Terlepas demokrasi yang berkembang kebablasan atau telalu liberal, menurut hemat penulis, demokrasi yang berkembang menafikan kondisi sosial ekonomi rakyat Indonesia.

Betapa tidak, di tengah impitan situasi ekonomi yang benar-benar berat sejak kenaikan harga BBM, kenaikan harga sembako, serta sulitnya mencari sekolah murah dan pengobatan gratis, partai politik (parpol) seakan tidak peduli dengan pengeluaran mereka, yang seolah tanpa batas.

Pengeluaran triliunan rupiah untuk sebuah pilkada di sebuah provinsi, seperti di Jatim, adalah cermin ongkos politik yang sangat mahal untuk ukuran suatu daerah.

Sementara itu, terbetik kabar bahwa untuk bisa masuk sebagai daftar calon anggota legislatif (caleg) pada pemilu tahun depan, para calon mulai berlomba-lomba menyetor ke DPP parpol hingga miliaran rupiah.

Bila hal ini benar, tentu akan mendorong aktivis parpol berlomba-lomba mencari dana politik, yang besarnya bisa tanpa batas. Bisa jadi enam anggota DPR dan puluhan anggota DPRD yang sekarang tersangkut kasus korupsi, merupakan bagian dari korban penggalian dana bagi ongkos politik yang mereka ciptakan sendiri.

Ongkos politik tanpa batas hanya akan menuai bencana, baik bagi aktivis parpol yang mulai ditangkapi KPK, juga bagi rakyat yang ujung-ujungnya kena imbas kenaikan ongkos produksi, akibat banyak proyek mengandung external cost, sebagai dampak dari korupsi. Hal ini harus dihentikan. Cukup sudah.

Pembatasan Dana

Pembatasan belanja kampanye adalah sebuah tawaran dalam rangka menangkal tren ongkos politik tanpa batas. Sekaligus mungkin bisa membantu lebih mendekatkan logika parpol dengan realita yang sedang mendera rakyat.

Daripada triliunan rupiah dihamburkan hanya untuk mengangkat citra calon pada pilkada maupun pemilu, akan lebih bermanfaat bila dibelanjakan untuk rakyat, namun bukan dalam konteks vote buying (pembelian suara), atau serangan fajar model bagi-bagi sembako, atau pembagian kupon undian berhadiah mobil seperti di Bali.

Contoh gamblang, rakyat korban luberan lumpur Lapindo amat merindukan para cagub Jatim mampu memecahkan masalah mereka. Sayang sekali tak satu pun berani turun ke medan riil tersebut.

Gagasan pembatasan belanja kampanye, sudah di- lakukan di beberapa negara, seperti Filipina dan Kanada. Di Filipina, ongkos kampanye sebuah partai politik maupun calon wali kota dan calon gubernur, dibatasi dengan aturan tegas dalam UU Pemilu setempat.

Dalam Republic Act 7166 tahun 1991, belanja maksimal dalam kampanye pilpres sebesar 10 peso (sekitar Rp 2.000, dengan kurs Rp 200 per peso) per pemilih. Belanja maksimal untuk kampanye bagi kandidat lain (gubernur dan wali kota) sebesar 3 peso (Rp 600) per pemilih, dan belanja maksimal kampanye bagi parpol sebesar 5 peso (Rp 1.000) per pemilih.

Pengalaman pada pemilu tahun 2004 di Filipina, seorang kandidat wali kota boleh membelanjakan maksimal kira-kira 3 juta peso (Rp 600 juta). Sedangkan calon presiden boleh membelanjakan maksimal 3 miliar peso (Rp 600 miliar). Jumlah ter- sebut relatif besar, karena gaji seorang wali kota di negara tersebut hanya sekitar 300.000 peso (Rp 60 juta) per bulan, dan gaji Presiden 360.000 peso (Rp 72 juta) per bulan.

Pengalaman Kanada dalam mengatur dana kampanye juga sebuah contoh yang baik. Pada 1993, Federal General Election Canada mengatur jumlah maksimum yang boleh dibelanjakan dengan paramater jumlah pemilih, jumlah penggalangan dana kampanye periode sebelumnya, dan consumer price index (indeks harga konsumen atau inflasi).

Bahkan, dalam hal spot iklan di televisi juga dibatasi untuk semua peserta pemilu, yaitu maksimum 6,5 jam tayang yang dibagi secara proporsional di antara peserta berdasarkan proporsi perolehan kursi.

Pada pemilu federal tahun 1997, misalnya, partai-partai menyepakati pembagian alokasi waktu siar 118 menit untuk Partai Liberal, 51 menit untuk Partai Reformasi, 43 menit untuk Bloc Quebecois, 34 menit untuk Progresive Conservative, 26 menit untuk NDP, dan 118 menit untuk yang lain.

Dari dua contoh tersebut menunjukkan bahwa masing-masing negara memiliki latar belakang yang berbeda, namun memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu mengurangi penghamburan dana. Bagi Filipina, penghamburan dana sangat erat kaitanya dengan korupsi dan pengurangan rakyat miskin. Sedangkan bagi Kanada, penghamburan dana mengurangi efisiensi dan pelayanan publik.

Indonesia bisa juga mengatur pembatasan semacam itu. Persoalannya adalah bagaimana metode pembatasannya? Hal paling sederhana, kita bisa belajar dari Filipina. Metodenya, dengan menentukan faktor pengalinya adalah harga dasar sembako, misalnya harga beras per kilogram di suatu tempat, dikalikan dengan jumlah pemilih.

Ambil contoh Pilkada DKI Jakarta pada 2007 dengan jumlah pemilih 5.627.350 orang. Apabila faktor pengalinya Rp 5.000 (harga dasar beras kualitas medium di Jakarta), maka batas maksimum pembelanjaan dana kampanye adalah Rp 28,136 miliar untuk semua peserta pilkada.

Kalau jumlah itu masih dianggap terlalu besar, bisa ditambahkan parameter lokal, misalnya khusus untuk pilkada diberi faktor pengali 0,25, sehingga maksimum Rp 7,034 miliar. Lantas cara menentukan alokasi untuk tiap-tiap kandidat, bisa dibuatkan formula lanjutan. Misalnya, bila jumlah kandidat dua, maka bisa dibagi dua sebanding, atau diberi variabel sesuai dengan jumlah perolehan kursi partai pengusung di DPRD.

Dengan pembatasan ter- sebut, niscaya pembelanjaan dana kampanye pada pilgub di Jatim bisa jauh di bawah Rp 5 triliun. Karena, dengan jumlah pemilih sekitar 29 juta jiwa, misalnya jika dikalikan Rp 5000, jumlah maksimal yang boleh dibelanjakan sekitar Rp 145 miliar. Jika dikalikan dengan faktor pengali 0,25, maka didapatkan Rp 36,306 miliar.

Bila ini diterapkan, akan ada penghematan dana lebih dari Rp 4,8 triliun. Jumlah itu akan jauh lebih bermanfaat jika digunakan untuk memperbaiki ribuan sekolah dan ratusan puskesmas yang rusak akibat bencana alam di Jatim.

Metode pembatasan tersebut bisa disempurnakan, terutama agar diperoleh penghematan triliunan rupiah yang bakal dibelanjakan selama kampanye pemilu legislatif dan Pilpres 2009. Mumpung saat ini RUU-nya masih di- bahas DPR.

Meskipun hal tersebut terlewat, sehingga tidak diatur dalam UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, tetapi parpol atau kandidat yang mau menonjolkan kampanye "pahe" (paket hemat) tentu akan menjadi catatan pemilih.

Hal itu dibuktikan oleh pasangan Ahmad Heriawan dan Dede Yusuf yang memenangi pilgub di Jabar beberapa waktu lalu, yang dipercaya mengeluarkan paling sedikit dana kampanye dibandingkan dengan calon-calon kuat lainnya, seperti Agum Gumelar.

Hal yang lebih penting, semakin kecil belanja kampanye, semakin kecil pula jumlah yang harus dikembalikan. Otomatif semakin rendah nafsu untuk korupsi.

Jadi, cukup sudah pem- borosan ongkos politik dan saatnya dana-dana itu dialihkan untuk keperluan rakyat banyak. Jabatan adalah amanah, titipan Ilahi.

0 komentar:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih telah berkunjung & comentnya