Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

PEMILU DAN KESEJAHTERAAN



Setelah pemilu 2004 dan satu tahun berjalannya pilkada langsung, maka praktek proseduralisme demokrasi mulai dipersoalkan.



Beberapa pihak mengkritik pola dan bentuk pemilihan umum yang diklaim sebagai sistem yang demokratis. Beberapa catatan kritis dari persoalan pemilu dan pilkada selama ini adalah, pertama, pemilu dan pilkada cenderung memicu emosi di tengah masyarakat akibat nuansa kompetisi yang kuat.

Kecenderungan ini mendorong munculnya bentrokan dan anarkhisme massa. Kedua, pelaksanaan pemilu dan pilkada cenderung tidak memberikan dampak yang signifikan kepada pemilih (rakyat). Rakyat cenderung menyimpulkan bahwa ada dan tidaknya pemilu tidak memiliki pengaruh terhadap perbaikan kondisi kehidupan mereka. Artinya produk hasil pemilu (Baca; Pemimpin) tidak mampu memihak kepada nasib rakyat yang secara nyata telah memilih mereka. Dalam konteks inilah pemilu sebagai instrumen demokrasi dipersoalkan karena tidak memiliki dampak signifikan atas peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pemilu dan pilkada selama ini dianggap hanya menghabiskan biaya yang sangat signifikan. Jusuf Kalla menyebut bahwa pemilu Indonesia paling boros di dunia karena menghabiskan hampir 50 milyar $. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh para kandidat dalam rangka kampanye dan memberi dukungan. Namun di sisi lain, biaya yang keluar tersebut tidak memiliki dampak apa-apa atas kesejahteraan masyarakat. Alih-alih menjadi sejahtera, pasca pemilu dan pilkada, rakyat sepertinya justru tambah menderita seiring dengan naiknya harga berbagai macam makanan pokok.

Ada sesuatu yang paradoks ketika pemilu atau pilkada, yakni semua kandidat jor-joran menghabiskan dana untuk kampanye: Baliho, spanduk, iklan di TV dll namun di saat yang bersamaan rakyat yang akan memilihnya justru bingung dengan himpitan ekonomi yang semakin akut. Uang para kandidat dikeluarkan secara jor-joran untuk lobby dari hotel ke hotel, jamuan makan di sana-sini namun di saat yang bersamaan rakyat yang akan memilihnya justru terpaksa makan nasi aking. Inilah fenomena demokrasi yang kehilangan substansi.

Perdebatan tentang relasi demokrasi dengan kesejahteraan akhir-akhir ini semakin menghangat. Format demokrasi yang saat ini berlangsung di Indonesia secara normatif prosedural sudah patut dibanggakan. Beberapa pilar demokrasi seperti kebebasan pers, pemilu yang fair, reformasi birokrasi, otonomi daerah dll secara prosedural sudah terkonsolidasikan.

Pelaksanaan pemilu misalnya,Banyak pihak dari luar yang memberi apresiasi kepada Indonesia yang mampu melaksanakan pemilu 1999 secara demokratis tanpa ada insiden atau pertumpahan darah. Pemilu 2004 yang sekaligus memilih presiden secara langsung juga menjadi prestasi yang signifikan bagi demokrasi di Indonesia. Pasca pemilu 2004, dilanjutkan dengan serentetan pemilihan kepala daerah yang dilakukan dengan mekanisme pemilihan langsung.

0 komentar:

:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

Terima Kasih telah berkunjung & comentnya